Memahami Fatwa MUI Salam Lintas Agama dan Bagaimana Pandangan Ulama Mazhab Syafi'i

- 4 Juni 2024, 11:00 WIB
Memahami Fatwa MUI Salam Lintas Agama dan Bagaimana Pandangan Ulama Mazhab Syafi'i
Memahami Fatwa MUI Salam Lintas Agama dan Bagaimana Pandangan Ulama Mazhab Syafi'i /-f/istimewa/Gambar Dibuat Menggunakan AI/

ANAMBASTODAY - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa MUI salam lintas agama yang melarang umat Islam mengucapkan selamat hari raya agama lain. Fatwa tersebut dikeluarkan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung.

Fatwa MUI salam lintas agama juga melarang penggunaan atribut hari raya agama lain, pemaksaan mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.

"Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud seperti di atas dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis di situs resmi MUI, Kamis, 30 Mei 2024.

Niam menjelaskan toleransi punya dua bentuk, yaitu akidah dan muamalah. Toleransi akidah berupa memberikan kebebasan kepada umat beragama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya. Adapun toleransi muamalah berbentuk kerja sama dalam kehidupan sosial.

"Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan," ucap Niam.

Prof. Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta menanggapi polemik Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ihwal larangan menyampaikan salam lintas agama. Menurutnya, masalah ini perlu didudukkan pada dua ranah yang berbeda, yakni arena internum dan eksternum.

Profesor Tholabi mengatakan polemik atas fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama disebabkan bercampurnya forum internum dan forum eksternum dalam merespons fatwa tersebut. Menurut dia, ada perkara yang bersifat internal umat beragama, ada pula perkara yang sifatnya eksternal atau antarumat beragama.

“Fatwa konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam,” kata Tholabi dalam keterangan tertulis di situs resmi Kemenag, Sabtu, 1 Juni 2024.

Wakil Rektor bidang Akademik UIN Jakarta ini menegaskan fatwa tersebut tentu tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam. Konsekuensinya, kata Tholabi, fatwa tersebut tidak tepat jika ditempatkan dalam forum eksternum yang tempatnya di ruang publik.

“Polemik yang muncul disebabkan fatwa tersebut dibaca dan ditempatkan pada forum eksternum atau ruang publik,” tegas Tholabi.

Dia mengatakan ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, tapi ada kalanya juga kaidah agama tidak dapat diakomodasi melalui kaidah hukum. Fatwa MUI ini masuk kategori kaidah agama yang tak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum (positif).

“Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum. Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya. Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama,” kata Tholabi.

Tholabi mengingatkan tentang relativitas fatwa. Dia menyebutkan sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tentu tidak bersifat mengikat dan absolut. Kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa.

"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," pinta Tholabi.

Dia menyebutkan, salam lintas agama tentu harus ditempatkan pada porsi yang tepat. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan MUI. Menurut dia, tak mungkin dan tidak lazim salam lintas agama dilakukan dalam forum internum umat Islam, seperti dalam Khotbah Jumat atau pengajian keagamaan yang hanya dihadiri oleh internal umat Islam. Namun, kata Tholabi, menjadi hal lazim salam lintas umat beragama dilakukan di forum publik.

“Apalagi dalam forum yang diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintahan atau forum-forum resmi lintas agama lainnya. Itu konteksnya forum eksternum, publik. Ini menjadi bagian dari ikhtiar membangun harmoni antarumat beragama,” tandas Tholabi.

Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim pada 2019 lalu telah merumuskan sikap yang diperoleh dari hasil bahtsul masail.

"Dalam kondisi demikian PWNU Jawa Timur terpanggil hadir untuk mengkajinya secara ilmiah dalam perspektif fiqih Islam," kata KH Syafrudin Syarif, Selasa, 12 November 2019 lalu.

Kepada sejumlah insan media, kiai yang juga Katib PWNU Jatim ini mengemukakan bahwa penyampaian salam lintas agama sejatinya telah dilakukan sejak zaman nabi terdahulu. Karena itu, berdasarkan hasil bahtsul masail yang membahas masalah ini, maka pengucapan salam dengan menyebutkan seluruh agama tidak dilarang.

“Keputusan bahtsul masail PWNU Jatim tentang hukum salam lintas agama yakni Islam itu agama rahmat. Jadi Islam sebagai agama rahmat selalu menebarkan pesan-pesan kedamaian di tengah manusia,” ungkapnya.

Kiai yang ditunjuk sebagai juru bicara tersebut mengemukakan PWNU Jatim tidak melarang pengucapan salam seluruh agama. Salam seluruh agama bisa diucapkan demi kemaslahatan umat.

“Dalam kondisi tertentu, NU tidak melarang pengucapan salam lintas agama. Salam ini, bisa diucapkan dalam kondisi tertentu demi kemaslahatan umat,” jelasnya dalam keterangan tertulis di situs resmi NU.

Lebih lanjut, Kiai Syafrudin menjelaskan bahwa tradisi mengucapkan salam juga dilakukan sejumlah nabi. Dikisahkan, Nabi Muhammad pernah mengucapkan salam kepada penyembah berhala dan golongan Yahudi yang sedang berkumpul bersama kaum Muslimin. Dan tradisi tersebut dilanjutkan para sahabat.

“Demikian pula sebagian generasi sahabat setelahnya, karena demikian menjadi sangat wajar tradisi menebarkan salam sebagai pesan kedamaian menjadi tradisi universal manusia lintas adat, budaya dan agama dengan berbagai model cara dan berbagai dinamika zamannya,” terangnya .

Kiai Syafruddin juga menganjurkan untuk mengucap salam Islam, apabila ada pejabat dari NU yang membacakan salam lintas agama saat memberi sambutan. Salam lintas agama dibutuhkan dalam menjaga persatuan dan kemaslahatan umatdan ini tidak apa-apa untuk diucapkan. Tetapi, bukan berarti salam lintas agama dianjurkan untuk senantiasa diucapkan.

“Pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan semisalnya. Namun demikian dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan pejabat Muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama,” ujarnya.

Mengenai imbauan MUI soal salam lintas agama, Kiai Syafrudin menyatakan PWNU Jatim tidak dalam kapasitas mengkonter kebijakan atau pendapat MUI. Sehingga, dirinya memastikan jika dalam kasus ini tidak melarang ataupun menyuruh.

"Kami tidak dalam rangka mengkonter pendapat MUI. Namun dalam kasus ini kita tidak melarang atau pun menyuruh. Jadi kalau ada maslahat kemudian ada hajat untuk mengucapkan salam lintas agama, kami tidak masalah. Tapi kalau tidak diperlukan, sebaiknya tidak dilakukan," ujarnya dalam keterangan tertulis di situs resmi NU.

Saat menyampaikan pernyataan ini, KH Syafrudin Syarif didampingi sejumlah kiai lain. Seperti Rais PWNU Jatim KH Anwar Manshur, Ketua PWNU Jatim, KH Marzuki Mustamar dan kiai jajaran syuriah seperti KH Nuruddin A Rahman, KH Anwar Iskandar.

Hukum Menjawab Salam Non Muslim

Salam merupakan bagian dari ibadah karena salam itu mengandung doa sesama Muslim setiap kali mereka berjumpa atau berpisah.

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menebar salam karena mengandung doa kesejahteraan dan kedamaian.

Artinya:
"Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Mau kah kalian aku tunjuki sebuah amal yang bila dilaksanakan membuat kalian saling mencintai? Tebarkanlah salam,"
(HR Muslim).

Lalu bagaimana dengan salam terhadap non Muslim?

Ulama Mazhab Syafi‘i berbeda pendapat soal ini. Masalah ini dibahas oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Azkar yang mengangkat perbedaan pandangan ulama tersebut.

Artinya:
"Adapun perihal non-Muslim, ulama kami berbeda pendapat. Mayoritas ulama kami memutuskan bahwa memulai salam kepada non-Muslim tidak boleh. Tetapi sebagian ulama menyatakan hal itu tidak haram, tetapi makruh. Tetapi ketika mereka memulai salam kepada Muslim, maka cukup dijawab ‘Wa ‘alaikum’ dan tidak lebih dari itu.”
(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 216).

Imam Al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh Imam An-Nawawi membolehkan lafal “wa ‘alaikum salam” tanpa “wa rahmatullāh” sebagai jawaban salam non-Muslim. Tetapi pandangan ini sangat lemah. Pandangan ini, kata Imam Nawawi, bertentangan secara umum dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini.

Artinya:
“Diriwayatkan di Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika ahli kitab mengucap salam kepadamu, maka jawablah ‘wa ‘alaikum,”
(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 217).

Sementara Abu Said menawarkan lafal lain yang dapat digunakan sebagai jawaban atas salam non-Muslim. Sejauh ada hajat tertentu seperti menghormati non-Muslim yang mengawali pertemuan dengan salam, maka lafal-lafal tawaran Abu Said dapat digunakan sebagai alternatif.

Artinya:
“Abu Said berkata, kalau seorang Muslim ingin menghormati non-Muslim, maka ia dapat menghormatinya dengan kalimat selain salam, yaitu dengan kalimat ‘hadākallāhu (semoga Allah memberi petunjuk padamu)’, ‘An‘amallāhu shabāhaka (semoga Allah membuat pagimu indah).’ Menurut saya (kata Imam An-Nawawi), pendapat Abu Said itu tidak masalah jika ada keperluan di mana seseorang menjawab, ‘Semoga pagimu ini baik, bahagia, atau sehat’, ‘Semoga Allah membuat pagimu bahagia, gembira, dalam nikmat, dalam kesenangan, atau serupa itu.’ Tetapi jika tidak diperlukan, maka sebaiknya tidak menjawab apa pun.”
(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 217).

Sejumlah pandangan ulama ini demikian adanya dengan asumsi bahwa salam yang diucapkan itu diniatkan sebagai doa yang tidak lain adalah ibadah dan karenanya bersifat sakral. Tetapi kita dapat menggunakan lafal “wa ‘alaikum salam” sebagai sebagai jawaban salam non-Muslim dengan niat bukan sebagai doa, tetapi diniatkan sapaan pergaulan dan karenanya bersifat profan.

Kita dapat meminjam lafal “wa ‘alaikum salam” yang menjadi jawaban untuk salam non-Muslim tanpa meniatkannya sebagai doa sehingga bersifat profan, tidak meniatkannya sebagai doa sebagaimana salam yang diamalkan umat Islam pada umumnya yang bersifat sakral. Peminjaman lafal ini dalam istilah kajian balaghah disebut sebagai iqtibas.***

Editor: Jamaludin Anambas Today


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah